KEWENANGAN NOTARIS

Kewenangan notaris tersebut dalam Pasal 15 dari ayat (1) sampai dengan ayat (3) UUJN, yang dapat dibagi menjadi ( Habib Adjie, 2008 : 78) :
  1. Kewenangan Umum Notaris.
  2. Kewenangan Khusus Notaris.
  3. Kewenangan notaris yang akan ditentukan kemudian.
A. Kewenangan Umum Notaris
Notaris Lumajang


Pasal 15 ayat (1) UUJN menegaskan bahwa salah satu kewenangan notaris yaitu membuat akta secara umum. Hal ini dapat disebut sebagai Kewenangan Umum Notaris dengan batasan sepanjang :
  1. Tidak dikecualikan kepada pejabat lain yang telah ditetapkan oleh undang-undang.
  2. Menyangkut akta yang harus dibuat adalah akta otentik mengenai semua perbuatan, perjanjian dan ketetapan yang diharuskan oleh aturan hukum untuk dibuat atau dikehendaki oleh yang bersangkutan.
  3. Mengenai kepentingan subjek hukumnya yaitu harus jelas untuk kepentingan siapa suatu akta itu dibuat.
Namun, ada juga beberapa akta otentik yang merupakan wewenang notaris dan juga menjadi wewenang pejabat atau instansi lain, yaitu (Habib Adjie, 2008 : 79) :
  1. Akta pengakuan anak di luar kawin (Pasal 281 BW),
  2. Akta berita acara tentang kelalaian pejabat penyimpan hipotik (Pasal 1227 BW),
  3. Akta berita acara tentang penawaran pembayaran tunai dan konsinyasi (Pasal 1405, 1406 BW),
  4. Akta protes wesel dan cek (Pasal 143 dan 218 WvK),
  5. Surat kuasa membebankan Hak Tanggungan (Pasal 15 ayat [1] UU No.4 Tahun 1996),
  6. Membuat akta risalah lelang.
Berdasarkan wewenang yang ada pada notaris sebagaimana tersebut dalam Pasal 15 UUJN dan kekuatan pembuktian dari akta notaris, maka ada 2 hal yang dapat kita pahami, yaitu :
  1. Notaris dalam tugas jabatannya memformulasikan keinginan/tindakan para pihak ke dalam akta otentik, dengan memperhatikan aturan hukum yang berlaku.
  2. Akta notaris sebagai akta otentik mempunyai kekuatan pembuktian yang sempurna, sehingga tidak perlu dibuktikan atau ditambah dengan alat bukti yang lainnya. Jika misalnya ada pihak yang menyatakan bahwa akta tersebut tidak benar, maka pihak yang menyatakan tidak benar inilah yang wajib membuktikan pernyataannya sesuai dengan hukum yang berlaku
B. Kewenangan Khusus Notaris

Kewenangan notaris ini dapat dilihat dalam Pasal 15 ayat (2) UUJN yang mengatur mengenai kewenangan khusus notaris untuk melakukan tindakan hukum tertentu, seperti :
  1. Mengesahkan tanda tangan dan menetapkan kepastian tanggal surat di bawah tangan dengan mendaftarkannya di dalam suatu buku khusus ;
  2. Membukukan surat-surat di bawah tangan dengan mendaftarkannya dalam suatu buku khusus ;
  3. Membuat salinan (copy) asli dari surat-surat di bawah tangan berupa salinan yang memuat uraian sebagaimana ditulis dan digambarkan dalam surat yang bersangkutan ;
  4. Melakukan pengesahan kecocokan antara fotokopi dengan surat aslinya ;
  5. Memberikan penyuluhan hukum sehubungan dengan pembuatan akta ;
  6. Membuat akta yang berkaitan dengan pertanahan, atau
  7. Membuat akta risalah lelang
Khusus mengenai nomor 6 (membuat akta yang berkaitan dengan pertanahan) banyak mendapat sorotan dari kalangan ahli hukum Indonesia dan para notaris itu sendiri. Karena itulah akan sedikit dibahas mengenai masalah ini.
Pasal 15 ayat (2) huruf j UUJN memberikan kewenangan kepada notaris untuk membuat akta di bidang pertanahan. Ada tiga penafsiran dari pasal tersebut (Habib Adjie, 2008 : 84) yaitu:
  1. Notaris telah mengambil alih semua wewenang PPAT menjadi wewenang notaris atau telah menambah wewenang notaris.
  2. Bidang pertanahan juga ikut menjadi wewenang notaris.
  3. Tidak ada pengambil alihan wewenang dari PPAT ataupun dari notaris, karena baik PPAT maupun notaris telah mempunyai wewenang sendiri-sendiri.
Jika kita melihat dari sejarah diadakannya notaris dan PPAT itu sendiri maka akan nampak bahwa memang notaris tidak berwenang untuk membuat akta di bidang pertanahan. PPAT telah dikenal sejak sebelum kedatangan bangsa penjajah di negeri Indonesia ini, dengan berdasar pada hukum adat murni yang masih belum diintervensi oleh hukum-hukum asing. Pada masa itu dikenal adanya (sejenis) pejabat yang bertugas untuk mengalihkan hak atas tanah di mana inilah yang merupakan cikal bakal dari keberadaan PPAT di Indonesia. Dengan demikian, dapat dilihat bahwa lembaga PPAT  yang kemudian lahir hanya merupakan kristalisasi dari pejabat yang mengalihkan hak atas tanah dalam hukum adat. Adapun mengenai keberadaan notaris di Indonesia yang dimulai pada saat zaman penjajahan Belanda ternyata sejak awal memang hanya memiliki kewenangan yang terbatas dan sama sekali tidak disebutkan mengenai kewenangan notaris untuk membuat akta di bidang pertanahan.
Namun, hal ini akan menjadi riskan jika kita melihat hierarki peraturan yang mengatur mengenai keberadaan dan wewenang kedua pejabat negara ini. Keberadaan notaris ditegaskan dalam suatu UU yang di dalamnya menyebutkan bahwa seorang notaris memiliki kewenangan untuk membuat akta di bidang pertanahan. Sedangkan keberadaan PPAT diatur dalam suatu PP (No.37 Tahun 1998) yang secara hierarki tingkatannya lebih rendah jika dibandingkan dengan UU (No.30 Tahun 2004) yang mengatur keberadaan dan wewenang notaris.
Sampai sekarang pun hal ini masih menjadi perdebatan di berbagai kalangan baik pakar hukum maupun notaris dan/atau PPAT itu sendiri. Jalan tengah yang dapat diambil adalah bahwa notaris juga dapat memiliki wewenang di bidang pertanahan  sepanjang bukan wewenang yang telah ada pada PPAT.

C. Kewenangan Notaris Yang Akan Ditentukan Kemudian

Yang dimaksud dalam Pasal 15 ayat (3) UUJN dengan kewenangan yang akan ditentukan kemudian adalah wewenang yang berdasarkan aturan hukum lain yang akan datang kemudian (ius constituendum) (Habib Adjie, 2008 : 82). Wewenang notaris yang akan ditentukan kemudian, merupakan wewenang yang akan ditentukan berdasarkan peraturan perundang-undangan. Batasan mengenai apa yang dimaksud dengan peraturan perundang-undangan ini dapat dilihat dalam Pasal 1 angka 2 UU no. 5 Tahun 1986 tetang Peradilan Tata Usaha Negara (Habib Adjie, 2008 : 83), bahwa :
Yang dimaksud dengan peraturan perundang-undangan dalam undang-undang ini ialah semua peraturan yang bersifat mengikat secara umum yang dikeluarkan oleh Badan Perwakilan Rakyat Bersama  Pemerintah baik di tingkat pusat maupun di tingkat daerah, serta semua keputusan badan atau pejabat tata usaha negara, baik di tingkat pusat maupun tingkat daerah, yang juga mengikat secara umum.
Berdasarkan uraian di atas, bahwa kewenangan notaris yang akan ditentukan kemudian tersebut adalah peraturan perundang-undangan yang dibentuk oleh lembaga negara (Pemerintah bersama-sama Dewan Perwakilan Rakyat) atau Pejabat  Negara yang  berwenang dan mengikat secara umum. Dengan batasan seperti ini, maka peraturan perundang-undangan yang dimaksud harus dalam bentuk undang-undang dan bukan di bawah undang-undang.

KEWAJIBAN NOTARIS

Pada dasarnya notaris adalah pejabat yang harus memberikan pelayanan sebaik-baiknya kepada masyarakat yang memerlukan bukti otentik. Namun dalam keadaan tertentu, notaris dapat menolak untuk memberikan pelayanan dengan alasan-alasan tertentu (Pasal 16 ayat [1] huruf d UUJN). Dalam penjelasan pasal ini, ditegaskan bahwa yang dimaksud dengan “alasan untuk menolaknya” adalah alasan yang mengakibatkan notaris tidak berpihak, seperti adanya hubungan darah atau semenda dengan notaris sendiri atau dengan suami/istrinya, salah satu pihak tidak mempunyai kemampuan bertindak untuk melakukan perbuatan, atau hal lain yang tidak dibolehkan oleh undang-undang.
Di dalam praktiknya sendiri, ditemukan alasan-alasan lain sehingga notaris menolak untuk memberikan jasanya, antara lain (Habib Adjie, 2008 : 87 dikutip dari R.Soegondo Notodisoerjo, Hukum Notariat di Indonesia, Suatu Penjelasan, 1982 : 97-98) :
  1. Apabila notaris sakit sehingga tidak dapat memberikan jasanya, jadi berhalangan secara fisik.
  2. Apabila notaris tidak ada di tempat karena sedang dalam masa cuti.
  3. Apabila notaris karena kesibukan pekerjannya tidak dapat melayani orang lain.
  4. Apabila surat-surat yang diperlukan untuk membuat suatu akta tidak diserahkan kepada notaris.
  5. Apabila penghadap atau saksi yang diajukan oleh penghadap tidak dikenal oleh notaris atau tidak dapat diperkenalkan kepadanya.
  6. Apabila yang berkepentingan tidak mau membayar biaya bea materai yang diwajibkan.
  7. Apabila karena pemberian jasa tersebut, notaris melanggar sumpahnya atau melakukan perbuatan melanggar hukum.
  8. Apabila pihak-pihak menghendaki bahwa notaris membuat akta dalam bahasa yang tidak dikuasai oleh notaris yang bersangkutan, atau apabila orang-orang yang menghadap  berbicara dengan bahasa yang tidak jelas, sehingga notaris tidak mengerti apa yang sebenarnya dikehendaki oleh mereka.
Dengan demikian, jika memang notaris ingin menolak untuk memberikan jasanya kepada pihak yang membutuhkannya, maka penolakan tersebut harus merupakan penolakan dalam arti hukum, dalam artian ada alasan atau argumentasi hukum yang jelas dan tegas sehingga pihak yang bersangkutan dapat memahaminya.
Khusus untuk notaris yang melanggar ketentuan Pasal 16 ayat (1) huruf I dan k UUJN, di samping dapat dijatuhi sanksi yang terdapat di dalam Pasal 85 UUJN, juga dapat dikenakan sanksi berupa akta yang dibuat di hadapan notaris hanya mempunyai kekuatan pembuktian sebagai akta di bawah tangan atau suatu akta menjadi batal demi hukum (Pasal 84 UUJN). Maka apabila kemudian merugikan para pihak yang bersangkutan, maka pihak tersebut dapat menuntut biaya, ganti rugi, dan bunga kepada notaris. Sedangkan untuk pasal 16 ayat (1) huruf l dan m UUJN, meskipun termasuk dalam kewajiban notaris, tapi jika notaris tidak melakukannya maka tidak akan dikenakan sanksi apapun.
Menurut ketentuan Pasal 16 ayat (7) UUJN, pembacaan akta tidak wajib dilakukan jika dikehendaki oleh penghadap agar akta tidak dibacakan karena penghadap telah membaca sendiri, mengetahui dan/atau memahami isi akta tersebut, dengan ketentuan hal tersebut dicantumkan pada akhir akta. Sebaliknya, jika penghadap tidak berkehendak seperti itu, maka notaris wajib untuk membacakannya, yang kemudian ditandatangani oleh setiap penghadap, saksi dan notaris sebagaimana tersebut dalam Pasal 44 ayat (1) UUJN (Habib Adjie, 2008 : 83) dan apabila pasal 44 UUJN ini dilanggar oleh notaris, maka akan dikenakan sanksi sebagaimana yang tersebut dalam pasal 84 UUJN.
Ketentuan pasal 16 ayat (1) huruf  m UUJN jika tidak dilaksanakan oleh notaris dalam arti notaris tidak mau menerima magang, maka kepada notaris yang bersangkutan tidak dikenai sanksi apapun. Namun demikian meskipun tanpa sanksi, perlu diingat oleh semua notaris bahwa sebelum menjalankan tugas jabatannya sebagai notaris, yang bersangkutan pasti pernah melakukan magang sehingga alangkah baiknya jika notaris yang bersangkutan mau menerima magang sebagai bentuk tanggung jawab moral terhadap kelangsungan dunia notaris di Indonesia.
Selain kewajiban untuk melakukan hal-hal yang telah diatur dalam UU, notaris masih memiliki suatu kewajiban lain. Hal ini berhubungan dengan sumpah/janji notaris yang berisi bahwa notaris akan merahasiakan isi akta dan keterangan yang diperoleh dalam pelaksanaan jabatan notaris. Secara umum, notaris wajib merahasiakan isi akta dan keterangan yang diperoleh dalam pembuatan akta notaris, kecuali diperintahkan oleh undang-undang bahwa notaris tidak wajib merahasiakan dan memberikan keterangan yang diperlukan yang berkaitan dengan akta tersebut. Dengan demikian, hanya undang-undang saja yang dapat memerintahkan notaris untuk membuka rahasia isi akta dan keterangan/pernyataan yang diketahui oleh notaris yang berkaitan dengan pembuatan akta yang dimaksud.
Hal ini dikenal dengan “kewajiban ingkar” notaris (Habib Adjie, 2008 : 89). Instrumen untuk ingkar bagi notaris ditegaskan sebagai salah satu kewajiban notaris yang disebut dalam Pasal 16 ayat (1) huruf e UUJN, sehingga kewajiban ingkar untuk notaris melekat pada tugas jabatan notaris. Kewajiban ingkar ini mutlak harus dilakukan dan dijalankan oleh notaris, kecuali ada undang-undang yang memerintahkan untuk menggugurkan kewajiban ingkar tersebut. Kewajiban untuk ingkar ini dapat dilakukan dengan batasan sepanjang notaris diperiksa oleh instansi mana saja yang berupaya untuk meminta pernyataan atau keterangan dari notaris yang berkaitan dengan akta yang telah atau pernah dibuat oleh atau di hadapan notaris yang  bersangkutan.
Dalam praktiknya, jika ternyata notaris sebagai saksi atau tersangka, tergugat, ataupun dalam pemeriksaan oleh Majelis Pengawas Notaris membuka rahasia dan memberikan keterangan/ pernyataan yang seharusnya wajib dirahasiakan, sedangkan undang-undang tidak memerintahkannya, maka atas pengaduan pihak yang merasa dirugikan dapat menuntut notaris yang bersangkutan. Dalam hal ini, dapat dikenakan Pasal 322 ayat (1) dan (2) KUHP, yaitu membongkar rahasia, yang padahal sebenarnya notaris wajib menyimpannya. Bahkan sehubungan dengan perkara perdata, yaitu apabila notaris berada dalam kedudukannya sebagai saksi, maka notaris dapat meminta untuk dibebaskan dari kewajibannya untuk memberikan kesaksian, karena jabatannya menurut undang-undang diwajibkan untuk merahasiakannya (Habib Adjie, 2008 : 90).

LARANGAN NOTARIS

Larangan notaris merupakan suatu tindakan yang dilarang untuk dilakukan oleh notaris. Jika larangan ini dilanggar oleh notaris, maka kepada notaris yang melanggar akan dikenakan sanksi sebagaimana yang tersebut dalam Pasal 85 UUJN.
Dalam hal ini, ada suatu tindakan yang perlu ditegaskan mengenai substansi  Pasal 17 huruf b, yaitu meninggalkan wilayah jabatannya lebih dari tujuh hari berturut-turut tanpa alasan yang sah. Bahwa notaris mempunyai wilayah jabatan satu provinsi (Pasal 18 ayat [2] UUJN) dan mempunyai tempat kedudukan pada satu kota atau kabupaten pada propinsi tersebut (Pasal 18 ayat [1] UUJN). Yang sebenarnya dilarang adalah meninggalkan wilayah jabatannya (provinsi) lebih dari tujuh hari kerja (Habib Adjie, 2008 : 91). Dengan demikian, maka dapat ditafsirkan bahwa notaris tidak dilarang untuk meninggalkan wilayah kedudukan notaris (kota/kabupaten) lebih dari tujuh hari kerja.